News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Sering Berbuntut, Dunia Digital Bisa Lebih Bahaya Daripada Dunia Nyata

Sering Berbuntut, Dunia Digital Bisa Lebih Bahaya Daripada Dunia Nyata




KUDUS: Pemerhati kejahatan siber, Muhammad Solichin mengatakan, dunia digital bisa lebih berbahaya dibandingkan dengan dunia nyata. Hal ini disebabkan segala perilaku kita di dunia digital punya rekaman jejak, yang sewaktu-waktu bisa diperkarakan ke proses hukum, jika ada pihak yang tidak terima atas apa yang pernah kita torehkan di ruang digital itu.

"Karakter yang membedakan dunia digital dengan dunia nyata, salah satunya reaksi audiens yang muncul, bisa berbuntut panjang," kata Solichin saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema ”Kecanduan Digital: No, Kreatif & Produktif: Yes" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Kamis (19/8/2021).

Solichin lantas memberi satu contoh sederhana dalam webinar yang diikuti ratusan orang itu. Ketika seseorang di dunia nyata dan dalam keseharian melakukan kesalahan pada orang lain, mungkin saat itu juga bisa diselesaikan secara damai dan baik-baik ketika sudah ada permintaan maaf secara langsung saat kejadian. Namun, tidak demikian di dunia digital. 

"Misalnya kita posting sesuatu yang dinilai salah oleh kebanyakan orang di media sosial. Yang terjadi prosesnya adalah postingan kita itu akan dihujat dulu beramai-ramai, lalu di antaranya ada yang melaporkan postingan itu secara hukum. Jadi, tidak lantas langsung selesai ketika ada maaf di ruang digital, tapi berbuntut karena reaksinya bisa beruntun dan kontekstual," ujar Solichin.

Selain itu, lanjutnya, penting berhati-hati dengan ruang digital karena umpan balik yang diberikan pengguna digital lain bisa terarah, namun juga bisa sangat liar, sehingga pengguna tertekan bahkan terintimidasi.

"Umpan balik ketika kita melakukan satu postingan bisa jadi sangat tak terkendali, liar, dan seolah tak bisa dihentikan dengan cara apa pun," sambung Solichin. Tak hanya itu, perbedaan mencolok ruang digital dan dunia nyata juga terletak pada sensitivitas antara pengguna. 

"Sensitivitas yang terbangun itu antara tekstual dan tafsiran, dan juga dramatisasi, rekayasa," ujarnya. Yang lebih bahaya, yakni ketika dampak dari sesuatu yang kita lakukan di dunia maya sudah menjadi viral maka dampak jangkauannya tak terbatas. Berbeda dengan ketika aksi itu dilakukan di keseharian dunia nyata, jangkauannya lebih terbatas.  

Solichin menuturkan, di balik seabrek perbedaannya masih ada kesamaan dalam ruang digital dan dunia nyata bagi masyarakat. Yakni, aspek lingkungan, karakteristik, kausalitas dan peradabannya.

"Perlu dipahami, karakteristik informasi dunia maya antara lain beroperasi secara virtual, perubahannya cepat, tidak mengenal batas teritorial, aktivitas bisa dilakukan tanpa identitas pasti dan sifatnya publik," tegas Solichin.

Narasumber lain dalam webinar itu, Kepala MAN 2 Kudus Shofi mengatakan, kecanduan internet menjadi hal yang membahayakan karena serangan yang disasar tak hanya fisik namun juga sampai mental.

"Salah satu dampak fisik kecanduan internet itu gangguan tidur. Jika gangguan tidur ini sudah menyerang, pengguna akan kekurangan waktu tidur berkualitasnya dan menyebabkan psikisnya bisa terganggu. Termasuk hubungan dengan keluarga," tegas Shofi.

Shofi mengungkap adiksi atau kecanduan internet bisa dikenali dari berbagai tanda. Salah satunya, sering merasa tak nyaman jika gadget tidak dibawa serta. Selain itu, lama waktu berinteraksi dengan gadget dibanding orang lain secara langsung, kata Shofi, juga bisa menjadi indikator mengarah kecanduan. 

Webinar yang dimoderatori Vania Martadinata ini juga menghadirkan dua narasumber lain, yakni dosen UIN Surakarta Abd. Halim dan Kepala MTsN Semarang Hidayatun, serta Qausar Harta Yudana selaku key opinion leader. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment