Punya Skill Saja Tidak Cukup, Warga Digital Juga Harus Cakap dan Cerdas
Klaten - Pemerintah Indonesia mengharapkan masyarakatnya bisa lebih cerdas dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, terlebih karena percepatan perkembangan teknologi yang tak bisa ditinggalkan. Itu sebabnya, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyelenggarakan webinar literasi digital untuk seluruh masyarakat. Program ini merupakan bagian dari program nasional Presiden Joko Widodo dalam mendukung percepatan transformasi digital.
Literasi digital yang dimaksud oleh Kominfo dirumuskan dalam empat pilar, yakni digital culture, digital skill, digital ethics, dan digital safety. Pilar tersebut selalu menjadi poin penting dalam setiap webinar, salah satunya seperti diskusi virtual yang diselenggarakan untuk masyarakat Kabupaten Klaten dengan tema "Menjadi Cerdas di Era Digital", Senin (2/8/2021).
Mafin Rizqi (tv presenter) sebagai moderator diskusi mengajak empat narasumber yang kompeten pada bidangnya untuk berbagi ilmu. Mereka adalah Sukron Mazid (dosen Universitas Tidar Magelang), Prof. Rajab Ritonga (guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta), Imam Sayekti (kepala MTsN 2 Kabupaten Pekalongan), dan Agus Mahasin (kasi guru bidang pendidikan madrasah Kanwil Kemenag Jateng). Selain itu juga hadir Adinda Daffy (content creator) sebagai key opinion leader.
Rajab Ritonga dalam pemaparannya menyampaikan, kecakapan adalah kemampuan yang harus dimiliki tiap-tiap pengguna teknologi informasi, sebab di abad informasi ini manusia menjadi semakin tergantung dengan keberadaan teknologi.
Masyarakat kini lebih menggunakan teknologi informasi seperti smartphone untuk mencari informasi ketimbang menggunakan radio, televisi, dan koran. Akan tetapi, menurut Rajab, begitu luasnya akses informasi dan penggunaan teknologi membuat masyarakat rentan menghadapi berita tidak patut dan hoaks.
"Hoaks merupakan berita atau konten yang tidak sesuai dengan fakta dan data sebenarnya, dan sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. Pembuat hoaks tahu konten yang dia buat tidak benar tetapi berharap berita itu dipercaya oleh orang yang menjadi tujuannya," jelas Ritonga kepada 200-an peserta webinar.
Ia mengibaratkan hoaks seperti sulap. Bedanya, audiens tahu bahwa pertunjukan sulap mengandung trik dan terhibur karenanya. Sedangkan audiens yang menerima hoaks tidak tahu bahwa berita atau informasi yang diterimanya itu keliru alias dibohongi oleh pembuat hoaks.
Media sosial menjadi sasaran penyebaran hoaks, karena lebih efektif dan menyasar individu secara langsung dalam jumlah massal. Di tambah pengguna internet dan media sosial di Indonesia tercatat cukup tinggi, yakni mencapai 195 juta pengguna internet dan 170 juta pengguna aktif media sosial.
"Kenyataan bahwa kita hidup di dunia nyata sekaligus dunia virtual menuntut kita untuk memiliki kecakapan digital. Hal ini agar kita tidak mudah percaya dengan berita hoaks. Selain itu, penting bagi kita untuk berpikir skeptis, kritis, dan interogatif ketika menerima sebuah informasi atau konten," terangnya.
Terkait strategi menangkal hoaks, Prof. Rajab menunjuk setidaknya delapan hal yang perlu dilakukan. Yakni, memeriksa URL atau alamat situs berita, cek juga tentang situs, kontak, dan personel pengelola web. Membandingkan isi konten dengan media lain dan cek penulis berita, waspadai judul yang provokatif dan periksa foto yang digunakan dalam berita. Waspadai permintaan menyebarkan konten serta lebih menggunakan logika ketika membaca berita atau konten lainnya.
Sementara itu, Agus Mahasin menambahkan, dalam interaksi di media digital etika dan netiket perlu diterapkan. Jika etika adalah sistem nilai yang berlaku atas setiap perbuatan atau perilaku dalam kehidupan, maka netiket adalah tata krama yang harus dipegang oleh pengguna saat berinteraksi di media sosial.
"Urgensi netiket dalam interaksi di ruang digital adalah kita harus tahu bahwa semua pengguna ruang digital juga merupakan manusia yang memiliki perasaan. Sehingga, aturan interaksi yang ada di dunia nyata harusnya juga dibawa ke dunia maya. Selain itu, ruang digital sangat global yang menampung warga dunia dengan budaya, bahasa, dan keragaman lainnya. Pengguna media digital mungkin menggunakan identitas samaran, meski demikian tidak mengurangi untuk bertindak semaunya walaupun di dunia virtual tersebut pengguna berkemungkinan untuk bertindak etis dan tidak etis," ujar Agus.
Meski demikian, netiket tidak berlaku ketika melakukan aktivitas digital yang bersifat individual seperti mencari informasi atau mendengarkan musik.
"Akan tetapi, etis dalam berinternet tetap harus memegang prinsip kesadaran. Sadar bahwa saat berinteraksi di internet bisa menimbulkan sesuatu yang akan ada efeknya. Integritas atau kejujuran, pengguna internet harus memegang prinsip ini agar tidak menyebarkan hoaks sebab apa yang kita lakukan ada jejak digital yang suatu saat akan dilihat oleh orang lain dan mungkin bisa berimbas pada kita," urai Agus.
Karena itu, etis bermedia juga harus memegang prinsip tanggung jawab. Artinya, apa pun aktivitas yang kita lakukan ada konsekuensi tersendiri. Sehingga, prinsip kebajikan harus selalu diingat agar dalam berinternet hanya menyebarkan hal-hal positif dan bernilai kebaikan. (*)
Post a Comment