Menciptakan Sikap Inklusif di Era Digital, Ternyata Mudah
Kebumen - Inklusi berasal dari kata inclusion yang artinya mengajak masuk atau mengikutsertakan. Sedangkan lawan katanya adalah exclusion artinya memisahkan atau mengeluarkan. Pengertian dari inklusi digunakan sebagai sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka.
Dosen DKV Universitas Sahid Surakarta, Ahmad Khoirul Anwar mengatakan, masyarakat inklusi dapat diartikan sebagai sebuah masyarakat yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan perbedaan serta mengakomodasinya ke dalam berbagai tatanan maupun infrastruktur yang ada.
Menurut Anwar, sikap inklusif yang terepresentasikan dalam sebuah masyarakat inklusif adalah menerima masyarakat disabilitas.
“Penyandang disabilitas mempunyai perbedaan dari segi fisik dan kemampuan berpikir karena ada kekurangan,” kata Anwar dalam webinar literasi digital dengan tema ”Masyarakat Inklusi dan Perundungan Anak” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk masyarakat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Rabu (25/8/2021).
Menurut Anwar, ada berbagai cara untuk menjadi masyarakat inklusi di era digital saat ini. Seperti tidak melakukan perundungan fisik, perundungan verbal, agresi relasi, perundungan prasangka, perundungan siber dan perundungan seksual.
Sedangkan untuk melindungi anak dari potensi perundungan, bisa juga dilakukan dengan berpartisipasi dalam kampanye stop bullying. Kemudian menjadi panutan yang baik bagi anak-anak, mendukung minat dan bakatnya, serta memberi dukungan yang penuh.
Narasumber lainnya, Direktur Penerbit Buku Mojok, Aditia Purnomo mengatakan, untuk menjadi masyarakat inklusi ini bisa dilakukan dengan cara-cara seperti menghargai hak dan pendapat orang lain, menerima dan menghargai perbedaan.
Sementara untuk melawan perundungan anak, menurut Aditia, bisa dilakukan dengan menjadikannya sebagai topik obrolan antara orang tua dengan anak. Memberikan pejelasan dan mengajarkan anak untuk mencari bantuan ketika mengalaminya. Lalu bisa juga dengan mengajarinya membangun pertemanan di lingkungan sosialnya, membantu meningkatkan kepercayaan diri anak dan mengajarkan anak untuk melawan potensi perundungan.
Aditia juga menekankan mengenai perlunya digital safety atau keselamatan digital yang dimiliki oleh masyarakat di era teknologi saat ini. Sebab, pada era perkembangan teknologi saat ini, dalam sebuah penelitian diketahui waktu yang dihabiskan orang Indonesia untuk mengakses internet per hari rata-rata 8 jam 52 menit. Kemudian aplikasi yang paling banyak digunakan secara berurutan posisi pertama adalah youtube, whatsapp, instagram, facebook, lalu twitter.
”Keselamatan digital ini adalah sebuah gagasan atau konsep yang mengupayakan keselamatan ruang digital dari beragam risiko dan ancaman siber,” kata Aditia di depan lebih dari 200 partisipan webinar.
Digital safety merupakan tindak lanjut dari digital security, yakni istilah kolektif yang menjelaskan sumber daya yang digunakan untuk melindungi identitas online, data dan aset lainnya. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjaga keselamatan digital, meliputi tidak membagikan password kepada orang lain, sebisa mungkin menghindari menggunakan free wifi, menjelajahi infomasi di internet dengan browser atau situs terpercaya, tidak membagikan aktivitas sehari-hari di media sosial, dan tidak membagikan hal privat di internet.
Diskusi virtual yang dipandu moderator Ayu Perwari itu, juga menghadirkan narasumber Kasi Pendidikan Madrasah Kantor Kemenag Kabupaten Kebumen Suwaibatul Aslamiyah, Peneliti Madya Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Kemenag RI, Evi Sopandi, serta Foodblogger Arief Budiman selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment