News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Memilih Media dan Guru dalam Belajar Agama di Dunia Maya

Memilih Media dan Guru dalam Belajar Agama di Dunia Maya




Purbalingga - Agama menjadi salah satu topik sensitif, terlebih saat berada di dunia maya. Karena itu, mendalami ilmu agama dengan media digital sebagai sarananya tidak bisa sembarangan. Hal ini perlu dibarengi literasi digital agar tidak terjerumus pada hal negatif saat mendalami ilmu agama. Sebab, seperti diketahui, ruang digital dibanjiri dengan berbagai informasi hingga mengaburkan mana yang benar dan mana yang salah. 

Topik "Mendalami Agama di Dunia Maya" merupakan pembahasan diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Selasa (3/8/2021). 

Diskusi yang dipandu oleh Mafin Rizqi (content creator) ini adalah program nasional yang diinisiasi pemerintah untuk menciptakan sumber daya manusia yang cakap digital dengan berpegang pada empat pilar: digital ethic, digital skill, digital safety, dan digital culture. 

Nuzran Joher (anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI) sebagai salah satu narasumber menyebutkan, literasi digital merupakan istilah yang digunakan untuk mendefinisikan kemampuan seseorang dalam menyikapi konten di media digital. Sebab, berbeda dengan media konvensional, media digital memerlukan keterampilan lebih untuk bisa memaksimalkan potensinya. Yaitu tidak hanya mendapatkan informasi, tetapi juga bagaimana bisa memproduksi dan mendistribusikan informasi secara bebas.  

Semetara dalam kehidupan beragama di ruang digital, Nuzran menilai sosok yang tepat dalam menyebarkan semangat literasi digital untuk memahami potensi dan bahaya serta cara menangkalnya adalah pendakwah.  

"Melalui mereka serangkaian kompetensi dasar untuk mengonsumsi dan memproduksi konten di dunia maya akan lebih disampaikan kepada masyarakat. Efek lanjutannya berpotensi mempercepat pendewasaan warganet dalam mengakses konten digital," jelas Nuzran. 

Maka dalam hal ini pendakwah dinilainya tidak sekadar menjadi guru spiritual, melainkan juga menjadi pemimpin opini di dalam komunikasi keagamaan. 

Dalam menyikapi konten warga digital harus memperhatikan kebenaran sumber informasinya, sebab konten yang baik belum tentu benar dan yang benar belum tentu bermanfaat.  Informasi yang bermanfaat pun belum tentu cocok jika disampaikan ke publik, karena tidak semua konten bisa disebarkan ke publik. 

"Konten agama yang dibuat selain benar dan bermanfaat juga baik dan merupakan sarana amar ma'ruf nahi munkar, menggunakan bahasa yang sopan dan tidak provokatif, informasi juga harus terverifikasi kebenarannya dan tidak berisi hal pribadi yang tidak layak disebarkan. Pada intinya, berbagi ruang digital adalah dengan memahami konsep dasar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika," jelasnya kepada 350-an peserta diskusi. 

Sementara itu Kepala MAN Salatiga Handono menambahkan, meskipun kita sudah beragama sejak lahir, namun mendalami agama perlu dilakukan. Apalagi agama dipahami sebagai solusi mencari kebahagiaan. Bedanya, akses agama dulu dan saat ini cukup jauh berbeda seiring dengan kehadiran media digital. Jika dulu mendalami agama dengan cara bertatap muka dengan guru agama, di era digital masyarakat lebih memanfaatkan dunia maya untuk berselancar mendalami ilmu agama. 

"Warga digital menyukai hal praktis dan cepat, namun efeknya tidak bisa mendalam. Maka kalau tidak cerdas dalam memilah informasi dan konten agama yang ada di dunia maya bisa bahaya. Kita harus mampu menilai, mengevaluasi, memverifikasi rujukan materi agama tersebut tidak menyesatkan," ujar Handono. 

Keberadaan teknologi menghadirkan fenomena cyberreligion, yakni para pencari Tuhan yang gemar mengaji atau mendalami agama di internet.  Bahayanya, masyarakat akan semakin tergantung pada media digital, muncul gejala kultus individual karena netizen bebas memilih tokoh agama yang diinginkan. Pencarian jati diri terkadang membuat orang menjadi agresif tanpa mempertimbangkan nilai agama dan sosial serta mudah terpengaruh. Internet juga menggantikan pengalaman agama, sehingga tempat ibadah sepi. 

"Kebebasan beragama di dunia maya ini juga melahirkan aliran-aliran agama yang sifatnya radikal, liberal, konservatif, dan Islamisme. Sedangkan di Indonesia, Kemenag telah menjembatani hal-hal tersebut dengan moderasi beragama, yakni tidak beragama secara ekstrem," imbuh Handono. 

Karena itu, bermedia sosial dalam konteks agama juga harus diarahkan pada niat, sikap dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama dan meningkatkan nilai kualitas kemanusiaan. 

Hal itu dapat dicapai melalui sepuluh kompetensi etis bermedia. Yakni, mengakses, memverifikasi, mengevaluasi, menyeleksi, memahami, menganalisis informasi di dunia digital. Memproduksi, mendistribusikan, berpartisipasi, dan berkolaborasi membuat konten yang baik. 

"Etika beragama di ruang digital dapat dilakukan dengan memilih sumber dakwah online dan ustad yang terpercaya, belajar agama dengan orang yang jelas keilmuannya, tahu dengan jelas keseharian guru agama yang akan dijadikan sumber ilmu, dan harus tatap muka meski secara virtual," pungkasnya. 

Selain kedua narasumber tersebut, Rifqi Fairuz (dosen IAIN Salatiga) dan Septa Dinata (researcher Paramadina Public Policy) juga ikut membagikan ilmunya seputar literasi digital. Hadir pula Rakhma Lutfita (influencer) sebagai key opinion leader dalam diskusi. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment