Apa yang Harus Dilakukan Jika Menemui Ujaran Kebencian?
TEMANGGUNG: Berbagai kasus pengaduan hukum terkait ujaran kebencian masih berlangsung hingga saat ini. Pasalnya, tidak sedikit masyarakat yang merasa dirugikan akibat dari aktivitas digital yang intens seiring perkembangan media sosial.
Gampangnya warganet memposting konten mulai tulisan, video, suara hingga gambar secara bebas, diikuti perilaku kasar pengguna media sosial yang menyalahgunakan media sosial sebagai sarana untuk meluapkan emosi, menyebar hoaks sampai menjatuhkan citra orang lain, lewat aksi menebar kebencian.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan jika menemui ujaran kebencian itu saat berinternet?" tanya Zulfan Arif, seorang content writer saat menjadi narasumber dalam webinar literasi digital bertajuk "Melawan Ujaran Kebencian di Dunia Maya" yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (2/8/2021).
Zulfan mengatakan, sebagai warganet kita bisa melakukan langkah-langkah atas ujaran kebencian itu dari tiga posisi. Yakni sebagai korban atau pihak terdampak, sebagai pengamat pasif atau bystander, dan sebagai aktivis dan konten kreator.
"Pahami posisi kita ada di mana dari ketiga itu," kata Zulfan. Bila kita sebagai korban atau pihak terdampak maka langkah yang bisa ditempuh bisa saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Di antaranya dengan melakukan mediasi damai atau melaporkan ke pihak-pihak terkait seperti pengelola platform, komunitas hingga ke pihak berwajib.
"Kita sebagai korban bisa juga membuat konfirmasi ke berbagai media," ujar Zulfan.
Adapun jika kita sebagai pihak kedua yakni sebagai pengamat pasif atau bystander, kita bisa melakukan langkah dengan tidak membagikan konten hoaks atau informasi dan ujaran kebencian itu lebih luas lagi. Sebagai pengamat pasif, juga bisa terus belajar agar menjadi pengamat aktif agar bisa turut berperan meredamkan ujaran kebencian yang mencemari ruang digital serta berpotensi melanggar UU ITE itu.
"Berbeda halnya jika kita sebagai aktivis dan konten kreator, saat menemui ujaran kebencian itu kita bisa terus melakukan kampanye positif dan tindakan-tindakan untuk melawan ujaran kebencian itu. Salah satunya dengan melawan melalui kontra narasi atau narasi alternatif," ujar Zulfan.
Zulfan menambahkan, ada sejumlah hal yang bisa dipakai untuk mengidentifikasi sebuah informasi adalah hasutan kebencian atau
bukan. Persisnya, ada lima cara yang bisa pakai untuk memastikan informasi itu hasutan kebencian atau tidak.
Pertama, mengenali muatan dan nada bahasa. Ada yang berbahasa lembut, tapi keterangannya salah tentang informasi sebuah kelompok. "Tapi ada juga yang bahasanya kasar dan menghasut orang lain melakukan kekerasan," terang Zulfan.
Yang kedua, dengan mempelajari maksud pelaku hasutan, yang kadang disengaja tapi kadang tidak sengaja. "Apakah maksudnya lelucon atau tidak, sehingga kita perlu respon berbeda atau serius," cetusnya.
Zulfan kemudian menyebut hal ketiga untuk mengidentifikasi ujaran kebencian atau tidak dengan mencermati sasarannya. "Sasaran ujaran kebencian ini biasanya kelompok rentan, entah karena perlakuan masyarakat, media, atau keadaan kelompok itu sendiri yang tak bisa mempertahankan diri atau membela diri," jelasnya.
Faktor keempat untuk identifikasi ujaran kebencian itu yakni dengan memperhatikan budaya dan sejarah di sekitar aksi ujaran atau hasutan kebencian itu. "Yang perlu diperhatikan antara lain media, warga sasarannya, prasangka masyarakat, serta otoritas pelaku hasutan," ujar Zulfan.
Faktor kelima untuk menandai ujaran kebencian, bisa dilakukan dengan mencermati dampak dan dampak potensialnya. Hal ini jadi pertimbangan terpenting dalam menilai hasutan kebencian itu, apakah berpotensi memancing terjadinya kekerasan kepada lainnya, memicu respon emosional dari sasaran, atau mempengaruhi sikap warga dengan menyebarkan kebencian atau memelintirkan kenyataan itu.
Narasumber lain webinar, M. Nur Kholis yang menjabat Kasi Kelembagaan Kemenag Jateng mengatakan, pada era bebasnya informasi dan berpendapat ini penting dilakukan edukasi terus menerus untuk memberi pemahaman pengetahuan etika dalam menggunakan internet pada masyarakat.
"Edukasi soal etika diperlukan, salah satunya untuk meminimalisir adanya dampak negatif dari penggunaan internet yang sebagian besar komunikasinya tak langsung, melainkan dalam bentuk teks dan gambar atau video," kata Nur.
Satu dampak negatif ketika orang tak memiliki etika berinternet, kata Nur, tak lain maraknya ujaran kebencian, juga informasi bohong atau hoaks dan banyak yang mempercayainya atau terhasut.
"Informasi bohong begitu mudah tersebar dan menipu mereka pengguna internet yang belum terbiasa mencermati mana berita bohong atau tidak," pungkas Nur Kholis dalam webinar yang juga menghadirkan narasumber Zahid Asmara (pembuat film) dan Khoironi Hadi (kepala MAN Temanggung). (*)
Post a Comment