News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Transformasi Literasi ala Pondok Pesantren Walisongo

Transformasi Literasi ala Pondok Pesantren Walisongo




Sragen – Kunci untuk mengarungi kehidupan ialah jangan menyakiti hati orang lain dan pengendalian diri. Begitu pula dalam bermedia sosial di dunia digital, karena dunia maya tak ubahnya dengan dunia nyata. Keduanya sama.

”Etika di dunia maya harus sama dengan di dunia nyata. Yakni, teliti saat menggunakan kata-kata, lalu memakai bahasa yang baik dan positif. Berhati-hatilah dalam berkata-kata dan bertutur,” ujar KH Ma’ruf Islamuddin dalam acara webinar literasi digital bertajuk ”Transformasi Literasi untuk Santri dan Pesantren” yang digelar oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Rabu (21/7/2021).

Pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Walisongo Sragen itu menyatakan, teknik bermedsos yang utama adalah kontrol diri. Ia menganjurkan agar sebelum menulis sesuatu, sebaiknya melakukan introspeksi. 

”Misalnya kalau mau nulis atau ngomong, harus membayangkan seandainya tulisan itu ditujukan pada diri sendiri dulu. Kalau kita gak bisa terima dengan omongan tesebut, artinya kita juga jangan ngomong seperti itu kepada orang lain,” tutur kiai yang akrab disapa Abah Ma’ruf itu.

Menurut Abah Ma’ruf, ada tiga kata kunci untuk melakukan komunikasi dan interaksi baik di dunia maya ataupun nyata. Tiga kata itu, yakni: maaf, tolong, dan terima kasih. Dengan tiga kata tersebut komunikasi dan interaksi dijamin aman dan nyaman, selain juga enak didengar.

Selanjutnya, kata Abah Ma’ruf, cara atau metode dalam bertanya yang diyakini tidak akan menimbulkan kemarahan atau ketersinggungan. Misalnya, meskipun kita memerintah, dengan metode bertanya orang yang kita perintah pasti tidak akan keberatan untuk melakukan. 

”Misalnya kita ingin diambilkan sandal, apakah kamu melihat sandalku? Meskipun sebenarnya itu menyuruh, namun kalimat yang digunakan dengan cara bertanya. Itu juga merupakan etika dalam berinteraksi,” jelas Abah Ma’ruf di depan tak kurang dari 400 partisipan webinar.

Media sosial, sambung Abah Ma’ruf, hanyalah sebuah alat seperti halnya harta, ilmu, dan sebagainya. Artinya, tergantung bagaimana cara penggunaannya. Jika digunakan untuk hal-hal baik, maka akan luar biasa manfaatnya. Sebaliknya, jika untuk hal-hal buruk dan mudharat, tentu bisa celaka. 

”Media sosial juga bisa jadi ladang pahala bagi kita. Maka, gunakan media sosial untuk sebaik-baiknya kepentingan manusia,” tegasnya.

Abah Ma’ruf menambahkan, dampak negatif media sosial, yakni kalau salah menggunakan – semisal untuk hoaks, maka akan merugikan diri sendiri, dan bisa terkena UU ITE. 

”Contohnya kalau kita komentari orang yang tidak kita kenal, maka kita akan susah meminta maaf. Untuk itu hati-hatilah dan jangan sampai lepas kontrol. Ingat di akhirat nanti bukan mulut yang bicara, tapi jari atau kaki kita yang bicara. Apakah jari kita untuk menulis komentar yang baik atau sebaliknya,” pesan Abah Ma’ruf.

Berikutnya, anggota DPRD Kabupaten Sragen Muhammad Bahrul Mustawa menyatakan, budaya merupakan sebuah kebiasaan interaksi yang disepakati bersama. 

Terkait literasi santri, putra Abah Ma’ruf itu telah membuat kebijakan yang membebaskan para santri di Pesantren Walisongo memanfaatkan dunia digital. Meski begitu, ada pembatasan khususnya untuk anak-anak yang masih usia TK dan SD.

”Kami lebih memilih bersahabat dengan dunia digital daripada harus memusuhinya. Bagi kami, untuk hidup di era digital kuncinya adalah bersahabat dengan teknologi. Karena siapa yang tidak bisa bersahabat dengan teknologi maka dia akan habis,” tegas lelaki yang akrab disapa Tawa itu.

Selanjutnya Tawa bercerita, sebagai anggota DPRD ia seringkali mendapat pertanyaan dari masyarakat, kapan pandemi akan berakhir? Pertanyaan itu justru saya jawab, sebaiknya pandemi tidak usah berakhir agar kita bisa berpikir bagaimana survive dan berpikir out of the box. 

Menurut Tawa, ada dua titik tekan terkait literasi digital di pesantrennya. Pertama, literasi akan meningkatkan kualitas wawasan penggunanya. Titik tekan kedua, ialah bagaimana pengamanannya. 

”Literasi di Pesantren Walisongo sudah berlangsung sejak lama. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya materi ekstra kulikuler jurnalistik, fotografi, multimedia, pidato, dan administrasi. Saya kira dunia jurnalistik paling dekat dengan literasi digital,” jelasnya.

Tawa menambahkan, di pesantren Walisongo juga ada kebiasaan membuat sebuah karya film bagi mereka yang akan menempuh ujian akhir. Sebagian karya itu ada juga yang mampu menembus dan diputar di bioskop umum.

”Selain itu Anda bisa saksikan karya-karya Pesantren Walisongo baik di Youtube maupun saluran televisi Walisongo,” pungkas Tawa.

Acara diskusi virtual yang dipandu oleh moderator presenter Vania Martadinata itu juga menghadirkan narasumber Hujatulloh (pakar literasi digital, dosen Unnesa Surabaya), Rika Iffati Farihah (pendiri dan tim redaksi neswa.id), dan entrepreneur Bella Nabilla selaku key opinion leader. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment