News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Perspektif Filosofis Menjadi Manusia Digital

Perspektif Filosofis Menjadi Manusia Digital




Blora – Memahami hubungan manusia dan teknologi digital dapat dilihat salah satunya dari perspektif antropologi digital; yaitu merefleksikan bagaimana dunia digital betul-betul efektif mencari bentuk dan memaknai manusia.

”Kehadiran teknologi digital menjadi alasan munculnya berbagai kemungkinan baru yang positif maupun negatif, di mana sebelumnya hanya bisa dikendalikan oleh uang,” ungkap dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Anis Masduqi pada acara webinar literasi digital suguhan Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (8/7/2021).

Terkait pemanfaatan teknologi digital, kata Anis, setidaknya ada dua pilihan bagi manusia menyikapi teknologi baru itu: Pertama, menjadi kreator atau pencipta teknologi; Kedua, menjadi pengguna yang lebih mengembangkan dan memanfaatkan fungsi dan konsekuensi teknologi.

Dalam paparannya, Anis juga mengutip pandangan Isin dan Rupert (2020) tentang tujuh langkah menjadi manusia digital. Pertama, Doing Things with Words, Saying Words with Things: Semua pekerjaan disampaikan dalam kata-kata/tulisan. Namun, dalam menyampaikan kata-kata harus berlandaskan fakta dan suatu kenyataan, bukan manipulasi (hoaks).

Kedua, Citizens and Cyberspace: Kehidupan berbangsa dan bernegara beralih ke ruang siber. Eksistensi ruang siber menggantikan ruang fisik, atau minimal menjadi duplikatnya.

Ketiga, Speech Acts and Digital Acts: Peraturan perundangan yang mengatur kebebasan berbicara di ruang siber dan yang mengatur ruang siber itu sendiri harus ada. Perilaku manusia di ruang digital maupun teknologi digital membutuhkan pengaturan khusus.

Keempat, Participating, Connecting, Sharing: Berpartisipasi aktif menjadi warga negara di ruang siber merupakan keharusan untuk dilakukan. Hal tersebut membutuhkan segala macam modalitas yang memungkinkan seseorang terhubung/terkoneksi dengan jaringan maupun pihak-pihak lain dalam jaringan. Di sepanjang proses terhubung tersebut, setiap pihak dapat berbagi satu sama lain.

Kelima, Filtering, Tracking, Normalizing: Segala hal yang diperoleh atau didapatkan dari ”dunia jaringan” tidak dapat ditelan mentah-mentah dan perlu disaring ulang. Salah satu cara melakukan filterisasi adalah dengan penelusuran aktif (tracking) atas berbagai sumber untuk mendapatkan kepastian (validitas). Terakhir, seseorang dapat menormalisasi kembali dunianya yang mungkin berubah setelah mendapatkan sesuatu dari jaringannya.

Keenam, Witnesing, Hacking, Commoning: Luasnya ruang siber dan beragamnya fenomena kehidupan digital harus disertai pula kemampuan untuk mengamati dengan teliti dan cermat. Ruang siber tidak serta merta bebas dari kejahatan oknum-oknum tertentu, seperti tindakan para hacker yang diam-diam mencuri semua data privasi. Kemampuan mengamankan diri dari kejahatan hacking ini juga dibutuhkan. Baru setelahnya seseorang harus terbiasa dan membiasakan diri dengan lingkungan digital yang baru.

Ketujuh, Making Digital Rights Claims: Salah satu strategi mengamankan diri dan semua potensi diri dari kejahatan hacking adalah pandai-pandai menciptakan atau menyatakan hak cipta digital. Ini penting untuk menjaga properti aman dari tindak kriminal, seperti plagiasi dan lainnya.

Sudut pandang memanfaatkan teknologi digital secara positif, bagi Anis berarti manusia (generasi tua maupun milenial) harus memiliki kesadaran bahwa teknologi digital dapat meningkatkan nilai-nilai kemanusiaannya, bukan tergerus oleh kehadiran teknologi itu sendiri.

Narasumber dari FIB UGM Ahmad Mu’am bicara mengenai etika di dunia digital. Mengapa masih banyak pelanggaran etika di dunia maya, menurutnya ada kemungkinan orang tidak tahu kriteria dan batasan tidak sopan atau hate speech di dunia maya. 

”Kemungkinan lain, masih adanya gap antara dunia nyata dengan dunia maya. Padahal mestinya ada kesadaran apa yang kita lakukan di dunia nyata juga harus ditransformasikan ke dunia maya, kerana kedua dunia itu tak boleh dibedakan,” ujar Mu’am.

Untuk membangun ekosistem digital yang positif, Mu’am memberikan beberapa kita sebagai solusinya: Menyadari bahwa kebebasan berekspresi ada batasnya; Merujuk norma dan nilai di dunia nyata untuk tetap diterapkan di dunia digital; Membentuk citra diri yang positif; Menghormati privasi orang lain; Mengakses hal-hal yang baik bersifat tidak dilarang; Tidak melakukan seruan atau ajakan negatif dan kurang baik.

”Cermat dan bijak dalam memilih simbol ekspresi, memahami dan tidak membawa isu SARA, mengerti dan memahami informasi rahasia, baik milik sendiri maupun orang lain,” pungkas Mu’am.

Diskusi virtual yang dipandu moderator Ayu Perwari itu juga menampilkan narasumber Traheka Erdyas Bimanatya (dosen FEB UGM), Isyrokh Fuaidi (dosen IPMAFA Pati), dan banker Reno Yuwono selaku key opinion leader. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment