News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Membangun Toleransi Beragama Melalui Media Sosial

Membangun Toleransi Beragama Melalui Media Sosial




SRAGEN: Pegiat Yayasan Desantara M. Nurkhoiron membeberkan sebuah riset yang cukup menghenyakkan. Riset yang dilakukan lembaga Maarif Institute soal sikap dan perilaku pelajar terkait intoleransi di Indonesia, yang pernah dipublikasikan di penghujung tahun 2017.

Riset yang melibatkan sekitar 800 pelajar SMA di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang itu dibuka kembali sebagai refleksi bersama saat webinar literasi digital bertajuk "Membangun Toleransi Beragama Melalui Media Sosial" digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Senin (26/7/2021).

"Dari riset itu, ternyata diperoleh hasil bahwa paparan informasi secara daring di media sosial ataupun media massa sangat berpengaruh besar terhadap tumbuhnya intoleransi di kalangan pelajar Indonesia," kata Nurkhoiron.

Dalam webinar yang menghadirkan narasumber Prasidono Listiaji (konsultan komunikasi pemasaran), Yusuf Mars (Pemred Padasuka TV), M. Azis Nasution (CEO Royal Indonesia Travel), itu terungkap data yang tidak main-main dan perlu jadi evaluasi berbagai pihak.

Sebab, pengaruh internet hingga memicu sikap intoleran para pelajar itu sangat dominan hingga mencapai sekitar 63 persen dari responden mengakuinya.

"Media sosial kuat pengaruhnya membuat orang, khususnya generasi muda, ini terpapar oleh informasi berkonten negatif. Salah satunya intoleransi. Mereka cenderung tidak melakukan verifikasi data dan berita pada informasi yang diterima, jadi nggak tahu mana informasi benar dan salah," ujarnya.

Dari survei, lanjut Nurkhoiron, diketahui 79 persen pelajar percaya untuk melawan konten negatif seperti intoleransi dan ujaran kebencian serta provokasi itu salah satu cara memperbanyak konten positif di media digital.

"Konten positif dan literasi digital  menjadi cara efektif melawan ujaran kebencian atau intoleransi," kata Nurkhoiron.

Mantan komisioner Komnas HAM ini menambahkan, konten negatif menjadi ancaman di era digital yang kian pesat sebarannya pada 2021 ini, bersamaan dengan masih berlangsungnya pandemi yang membuat orang lebih banyak di rumah.

"Diperlukan penanganan dari hulu sampai hilir melawan konten negatif ini. Salah satunya berupa gerakan edukasi untuk meningkatkan literasi digital di masyarakat," cetusnya.

Tak berhenti di situ, Nurkhoiron mengatakan, masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat disinyalir memicu pula intoleransi di kalangan terdidik.

"Tidak semua masyarakat yang terpapar paham radikalisme memiliki latar belakang pendidikan yang rendah. Yang terdidik pun rentan terpapar," kata dia.

Nurkhoiron mengatakan masyarakat terdidik terus berharap agar kesejahteraan mereka terus meningkat. Ketika harapan tersebut hilang lantaran persoalan fundamental perekonomian negara, tidak tersedianya lapangan kerja, hingga akses usaha yang terbatas, tak sedikit dari mereka yang akhirnya frustrasi dan lari ke paham radikal.

Narasumber lain, CEO Royal Indonesia Travel M. Aziz Nasution mendorong anak muda dapat bijaksana memanfaatkan kebebasan berpendapat dan berekspresi untuk menyampaikan ide dan gagasan positif dan bertanggungjawab di media sosial.

"Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak setiap manusia, tapi jangan lupakan norma dan aturan, tetap dalam koridor intelektualitas dan bertanggung jawab," kata Azis.

Azis mewanti-wanti agar jangan sampai kebebasan berpendapat di era digital itu mengarah ke penyebaran hoaks, konten negatif, pesan provokasi dan ujaran kebencian berbau SARA yang bisa menimbulkan konflik. Aturan hukumnya tegas.

"Netizen diikat oleh suatu norma perilaku untuk menggunakan teknologi secara benar. Jika norma-norma itu dilanggar, maka ada hukum positif yang akan menjerat," jelasnya.

Azis pun menyarankan netizen menghindari opini provokatif dan
mempelajari benar informasi secara detail soal validitasnya. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment