News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Mau Berekspresi Disruptif atau Destruktif di Dunia Digital?

Mau Berekspresi Disruptif atau Destruktif di Dunia Digital?




Tegal – Semua orang tahu, simbol acungan jempol (ibu jari) ke atas artinya baik. Sebaliknya, jika ibu jari mengacung ke bawah itu bermakna buruk atau jelek. Begitulah media sosial, di satu sisi ”disruptive”, sisi lainnya ”destructive”.

”Media sosial disruptif karena bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis, pendidikan, hiburan, dan personal branding. Disebut destruktif karena berisi hoaks, scam, cyberbullying, hate speech, dan konten negatif,” urai Akhmad Firmannamal.

Dipandu moderator Dimas Satria, Praktisi kehumasan Kemensesneg itu tampil sebagai narasumber bersama Yoshe Angela (Social Media Communication PT Cipta Manusia Indonesia), Purwo Susongko (Universitas Pancasakti Tegal), Sekhun Ichrom (Pemimpin Umum Harian Radar Tegal), dan Ones selaku key opinion leader.

Membawakan tema ”Bebas Bermedia Sosial tapi Wajib Tahu Etika dan Rambunya” Firmannamal fokus pada persoalan hoaks dan cyberbullying yang bersifat destruktif. 

”Rekaman interaksi antara manusia (pengguna internet) dengan dunia virtual meninggalkan apa yang dikenal dengan sebutan jejak digital. Potensi hoaks dan cyberbullying menjadi jejak digital tak sepenuhnya disadari para pengguna media sosial,” ujar Deputi Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara itu.

Hoaks menurut Firman, bisa berupa postingan berita palsu yang dilakukan oleh akun fiktif dengan tujuan membuatnya seolah-olah hasil produk jurnalistik media yang valid. Sementara menurut UU ITE, hoaks adalah berita bohong yang disebarkan serta mampu menimbulkan kebencian atau permusuhan individu atau kelompok.

“Sedangkan cyberbullying ialah perundungan (bullying) dengan menggunakan teknologi digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial, platform chatting, platform bermain game, dan ponsel. UU ITE menyebutnya sebagai informasi/dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik,” papar Firman.

Pada kesempatan itu, Firman juga menyebut banyaknya penanganan sebaran isu hoaks Covid-19 periode 23 Januari 2020 - 11 Maret 2021 yang jumlahnya mencapai 1.471 kasus untuk diseminasi ke kementerian dan lembaga, 2.703 kasus pengajuan takedown.

”Pengajuan takedown sebaran hoaks Covid-19 di media sosial didominasi oleh platform facebook (2.134), twitter (496), Youtube (49), dan Instagram (24),” jelas Firman.

Adapun media sosial yang paling banyak digunakan untuk cyberbullying, menurut Firman, masing-masing adalah Instagram (42 persen), facebook (37 persen), Youtube (10 persen), dan twitter (9 persen).

Narasumber Yoshe Angela dari Kaizen Room menyebut, generasi muda dan perempuan sebagai kelompok yang mampu memberi pengaruh di ruang digital. 

”Generasi muda banyak memberi pengaruh lantaran berani berinovasi, tertarik mencoba hal baru, dan jadi trendsetter. Sedangkan perempuan karena lebih detail, memperhatikan brand, lebih setia, dan lebih mudah merekomendasikan,” ucap Angela. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment