Desa Ikut Miliki Wewenang Pencegahan Perkawinan Anak
Ilustrasi Perkawinan Anak (ist)
WARTAJOGJA.ID : Indonesia memiliki target menghapus semua prantik berbahaya, termasuk perkawinan anak pada tahun 2030. Guna mencapai target tersebut kewenangan diberikan kepada strata pemerintahan hingga ke tingkat desa untuk melakukan berbagai upaya meminimalisir hingga menghapus perkawinan anak.
Hal ini diungkapkan Kepala DP3AP2 DIY, Erlina Hidayati dalam Webinar Pendewasaan Usia Perkawinan/Perkawinan Usia Anak Melalui Peraturan Desa pada Rabu (13/01) secara daring melalui aplikasi meeting. Erlina mengatakan, peristiwa perkawinan anak menjadi salah satu hambatan pembangunan nasional dan dapat mengganggu pencapaian SDGs Indonesia.
“Efek perkawinan di usia dini sangat banyak ke depannya, mulai dari segi ekonomi, psikologi, sosial-budaya, hingga pembentukan SDM baru yang lahir dari perkawinan usia dini tersebut. Untuk itu, strategi pencegahan perkawinan anak sangatlah penting,” ujarnya.
Erlina menjelaskan, jumlah perkawinan anak dari tahun ke tahun semakin bertambah, baik di indonesia maupun DIY. Padahal, dengan adanya UU Keistimewaan, sudah seharusnya DIY mampu memiliki kehidupan masyarakat yang lebih istimewa, termasuk pada kualitas kesejahteraannya.
“Anak adalah investasi bangsa, karena masa perkembangan usia anak dapat berpengaruh pada masa depan dan pembangunan negara juga. Untuk itu diharapkan pengaturan perkawinana anak ini ada dalam peraturan desa, apalagi desa juga semakin luas wewenangnya,” paparnya.
Erlina mengungkapkan, dari data 2018, perkawinan anak di DIY memperlihatkan angka yang cukup baik, yakni DIY menduduki peringkat kedua dari provinsi yang angka perkawinan anaknya paling sedikit di Indonesia setelah Riau. Namun, data ini masih menggunakan UU Perkawinan sebelum direvisi, di mana batas minimal usia perkawinan perempuan ialah 16 tahun.
“Posisi DIY ini bisa bergeser, lebih baik atau bahkan lebih jelek jika minimal usia perkawinannya mengacu pada UU Perkawinan setelah direvisi menjadi 19 tahun. Untuk itu upaya pencegahan perkawinan anak harus terus dilakukan,” imbuhnya.
Secara nasional, Erlina menuturkan, pemerintah pusat memiliki arah kebijakan meningkatkan kualitas anak, perempuan, dan pemuda. Salah satu strateginya ialah penguatan koordinasi dan sinergi upaya pencegahan perkawinan anak dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
“Berdasarkan hal ini, dilakukanlah pembagian peran dari tingkat pusat hingga desa. Diharapkan seluruh pemangku kepentingan bisa bekerja sesuai perannya agar tidak ada lagi perkawinan anak,” katanya.
Erlina pun menambahkan, guna memudahkan desa melakukan perannya, Kemendes PDTT pun telah mengeluarkan peraturan penggunaan dana desa untuk pelaksanaan program prioritas nasional sesuai kewenangan desa. Salah satunya ialah upaya pencegahan stunting di desa melalui pengasuhan anak di keluarga, termasuk pencegahan perkawinan anak.
“Peran desa menjadi penting karena adanya wewenang penuh bagi pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan masyarakat, hingga pemberdayaan masyarakat desa. Langkah awal yang bisa dilakukan desa yakni menyusun Perdes pencegahan dan penanganan perkawinan anak sebagai komitmen dalam menurunkan perkawinan anak,” paparnya.
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama DIY, Imron Rosyadi mengatakan, usia perkawinan yang ideal sebenarnya sudah pernah tertuang pada UU Perkawinan Tahun 1974, yakni minimal 21 tahun. Jika usia perkawinan kurang dari itu, wajib mendapat izin dari orang tua. Setelahnya, cukup banyak peristiwa penyimpangan terhadap batas minimal perkawinan.
“UU sudah kita benahi, berbagai aturan sudah dijalankan. Namun teori efektifitas suatu hukum ialah harus melakukan sosialisasi hukum yang ada, guna mengubah hukum budaya masyarakat. Jika Perdes penceghan perkawinan anak sudah ada, perlu disosialisasikan untuk membantu meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat agar tidak mengawinkan anak di usia anak,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Daerah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat DIY, KPH Notonegoro mengatakan, dari berbagai sumber data, perkawinan anak terjadi paling banyak karena alasan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Bermula dari itu, pencegahan perkawinan anak tidak hanya sebatas pembuatan regulasi, tapi perlu dilakukan pula hal-hal untuk mengatasi penyebab terjadinya perkawinan anak.
“Perkawinan dini ini seolah-olah menjadi persoalan utamanya. Padahal ada masalah lainnya, misalnya KTD yang menjadi penyebab utama. Jadi, dibuat aturan sebaik apapun kalau sudah terjadi KTD susah juga. Untuk itu, butuh penanaman budaya kita kepada anak-anak kita yang tidak bisa dipungkiri mengalami pergeseran budaya akibat globalisasi,” ungkapnya. (Cak/Rls)
Post a Comment