News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Membabar Kebhinnekaan Melalui Wayang

Membabar Kebhinnekaan Melalui Wayang


Pentas Wayang Pulau, cerita NKRI Jangan Mati dengan Dalang Ki Kiki Kemaki (Dok.RH Art Space)


"Amenangi zaman édan; Mélu ngédan nora tahan; Yén tan mélu anglakoni boya kéduman; Begja-begjaning kang édan; Luwih begja kang éling klawan waspada"

WARTAJOGJA.ID : Lantunan pembuka yang diambil dari bait ketujuh Suluk Kalatidha - Ranggawarsita itu, membuat suasana terasa berbeda dari biasanya. Suluk pembuka tentang Jaman Edan ini terdengar seperti mantra dari Sang Dalang, Ki Kiki Kemaki. 

Ia kemudian mengawali pentas Wayang Pulau (Sabtu, 21/11), dengan mengusung kisah dari sejumlah tokoh wayang yang menjadi personifikasi keberadaan pulau-pulau di nusantara. 

Kali ini, dalang muda Ki Kiki Kemaki yang didapuk untuk memainkan Wayang Pulau dengan lakon NKRI Jangan Mati. 

Aksinya terlihat unik dan nyentrik dengan gaya khas dalam membabar cerita wayang yang banyak mengungkap soal kebhinnekaan dan ke-Indonesia-an melalui tokoh utama, wayang Gardala, akronim dari Garuda Pancasila. 

Serta paduan kisah wayang Fabel dan selipan isu terkini seputar pagebluk Covid 19 dengan tokoh wayang Corona yang masih melanda dunia dan bumi pertiwi. 

Wayang Nusantara

Pertunjukan wayang yang masih menjadi rangkaian dari kegiatan Grudug Wayang (10-30 November 2020) di Rumah Budaya Royal House Art Space ini, juga menampilkan kreator Wayang Pulau atau Wayang Nusantara, Rakhmad Hidayat (54) atau yang lebih dikenal akrab dengan sebutan Ki Nanang Garuda. 


Wayang Pulau, menguatkan kembali semangat Kebhinnekaan dan ke-Indonesia-an kita (Dok.RH Art Space)

Sejauh ini, tokoh-tokoh utama dari Wayang Pulau yang ditampilkan adalah representasi dari sosok-sosok wayang dari Para Rakyan: Pulau Sumatera (Rakyan Andalas), Kalimantan (Rakyan Borneo), Sulawesi (Rakyan Celebes), Papua (Rakyan Papua), Jawa (Pradnya Jawi Dwipa), dan tentunya Sang Gardala. 

Pentas Wayang Pulau ini bersanding dengan sentuhan musikal dari beragam kolaborasi musik etnis nusantara dari Kelompok Musik Garuda.

Pengampu di Jurusan Film dan Televisi, FSMR-ISI, Yogyakarta itu, mengaku mengawali proses kreatifnya saat mulai menggarap tesisnya yang mengangkat judul Mencari Telur Garuda. 

Tema Garuda inilah yang kemudian membawanya mendirikan rumah sekaligus Museum Garuda, menuntaskan tesis, membuat beragam video seni. Serta ikut mengenalkan wayang kulit dan wayang golek bertema Garuda hingga saat ini.

Hingga kini, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk meneliti dan mengeksplorasi simbol negara Garuda, lewat berbagai eksploratorium bentuk media ekspresi dalam berbagai risetnya. 

Keprihatinannya yang dalam akan situasi dan kondisi bangsa ini atas penghargaan terhadap simbol negara dan keberagaman kita di Indonesia membuatnya fokus untuk tetap mengusung tema Garuda dalam laku berkeseniannya.


Display beberapa koleksi wayang fabel dalam Wayang Pulau, karya Ki Nanang Garuda (Dok.RH Art Space)


"Meski semua masih jauh dari kata ideal. Usaha dan upaya ini tak pernah henti. Apalagi, sejauh ini tidak pernah ada literatur yang jelas bagaimana pembentukan Garuda Pancasila, termasuk siapa perancang simbolnya," ungkap seniman yang kini tengah membangun gerakan menyelamatkan lambang negara itu, memberi alasan.

Sejauh ini, tidak banyak sumber terkait latar belakang sejarah lambang negara, Garuda Pancasila. "Sehingga saya sendiri sejak awal ikut meneliti dan turun ke lapangan langsung untuk bisa melengkapi bahan studi saya tentang Garuda. 
Sisa dari limbah bahan-bahan tesis itu yang kini menjadi koleksi Rumah Garuda,” terang Nanang memberi penjelasan seputar hasil pencapaiannya sejauh ini.

Usai pementasan Wayang Pulau yang berlangsung selama satu jam ini. Selanjutnya, diakhiri dengan agenda Bincang Budaya: Wayang Menjawab Tantangan Jaman, dengan menghadirkan pembicara: Hastangka (Pusat Studi Pancasila UGM), Ki Nanang Garuda (Kreator Wayang Pulau), dan Arya Pandhu (Pekerja Media dan Seni).

Wayang Jataka

Masih dalam rangka memperingati Hari Wayang Dunia, Rumah Budaya Royal House Art Space, juga menghadirkan Wayang Jataka (Selasa,17/11), dengan lakon yang diambil dari relief yang ada di Candi Borobudur, berjudul Raja Mandhata: Penguasa Bumi dan Langit, dari Ki Bambang Eka Prasetya (68).

Alkisah, ada seorang raja bernama Mandhata yang artinya lahir dari kepala. Ia adalah sosok raja tamak dan tak pernah merasa puas dan bahagia dengan apa yang sudah dimilikinya. Lakon wayang ini, bagian dari secuil kisah yang diambil dari Relief Avadana, Panel 39-48, Candi Borobudur. 

Mungkin belum banyak yang tahu, jika relief Candi Borobudur tak sekedar menjadi ornamen estetik penghias penampilan candi semata. Namun, begitu sarat makna dan menjadi cerminan filosofi ajaran kehidupan. Ada berbagai serapan ilmu pengetahuan yang terkait dengan dengan aspek spiritual-religius maupun sosial. 


Wayang Jataka, dari Dalang Ki Bambang Eka Prasetya, cerita Raja Mandhata: Penguasa Bumi dan Langit (Dok.RH Art Space)

Termasuk nilai-nilai Pancasila dibalik pahatan indah rekam-jejak peristiwa kuno masa lampau yang terpampang di dinding Candi Borobudur.

Berbeda dengan pementasan Wayang Purwa, yang mengambil cerita Mahabharata dan Ramayana. Seniman dari tlatah Borobudur ini, kemudian lebih tertarik untuk mendalami Karmawibangga, Lalitavistara, Jataka, Avadana, Gandavyuha-Bhadracari yang ada di Candi Borobudur. Dalam proses kreatifnya, ia kemudian mengusung Wayang Jataka. Secara umum, kisah Jataka mengisahkan reinkarnasi Sang Buddha sebelum dilahirkan kembali sebagai seorang manusia.

 “Kami menggunakan Wayang Jataka ini sebagai sarana menanamkan nilai-nilai Pancasila dan Kebhinnekaan yang selalu bisa kita tanamkan dan banggakan sebagai orang Indonesia, khususnya bagi generasi muda,” tandas seniman yang kerap disapa Eyang BEP ini, memaparkan dengan penuh semangat.

Pentas ini, didukung garapan musik Ki Mujar Sangkerta dan Lukman Nur Hakim, serta dekorasi olah-garap artistik beberapa lukisan ikonik dari relief Candi Borobudur karya perupa, Heru Londo. Di ujung pentasnya, sembari turun dari panggung, Ketua Paguyuban Pecinta Sastra Se-Magelang Raya, Nittramaya ini memberi pesan khusus sebagai penutup untuk kita renungkan bersama. "Tiada kebahagiaan yang melebihi hati yang merasa cukup.”

Rumah budaya baru di wilayah Sleman, Royal House Art Space kini mulai ikut dirasakan manfaat dan kehadirannya. "Kami bersyukur bisa mendapatkan apreasiasi luas dari warga sekitar dan para undangan yang hadir meski dengan format yang masih terbatas karena pandemi," papar Manajer Produksi RH Art Space, Bambang Haryana. 

"Untuk itu, kami tetap berupaya bisa menghelat berbagai event seni-budaya agar dapat terus menggairahkan ciri khas Yogyakarta sebagai kota seni dan budaya," pungkasnya.

(Dit/Var)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment