BPPTKG : Potensi Bahaya Paling Utama Merapi Awan Panas
WARTAJOGJA.ID: Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi ( BPPTKG) Yogyakarta menuturkan dari setiap siklus erupsi Gunung Merapi yang terjadi, hal yang dianggap paling membahayakan tak lain awan panasnya.
Awan panas atau pyroclastic flow atau dalam bahasa lokal warga disebut wedhus gembel itu selama ini yang menjadi materi penghancur paling dahsyat bagi berbagai obyek yang dilewatinya. Termasuk manusia.
Sebab awan panas itu tak hanya bergerak sangat cepat ketika terjadi erupsi. Namun suhunya juga sangat tinggi hingga dalam hitungan detik bisa membunuh dan merusak apapun.
“Potensi bahaya yang utama dari Merapi adalah awan panas,” ujar Kepala BPPTKG Hanik Humaida Jumat 13 November 2020.
Hanik menuturkan, awan panas terbentuk karena adanya kubah lava yang tidak stabil. Yang ditekan terus melalui desakan dari perut Merapi sehingga membuat kubah lava itu lama-lama runtuh lalu mendorong awan panas keluar.
Namun untuk saat ini, ketika status Merapi sudah dinaikkan dari waspda menjadi siaga, kubah lava utama yang ditunggu-tunggu itu belum muncul juga. Sehingga belum bisa diketahui pasti, seperti apa perkiraan kecepatan atau laju awan panas jika Merapi nanti erupsi.
Yang ada saat ini pada Merapi hanya kubah lava bentukan saat 2018 silam dan sampai sekarang tak juga bertambah volumenya atau tetap di angka 200 ribu meter kubik.
Volume kubah lava sangat menentukan berapa kecepatan gerakan awan panas yang kelak dihasilkan saat erupsi. Untuk membaca volume kubah lava itu, bisa diukur dengan melihat kecepatan electronic distance measurement atau EDM Merapi setiap harinya.
Dari data EDM ini lalu dipakai untuk mengetahui kecepatan pemendekan deformasi atau perubahan bentuk yang terjadi pada Merapi itu. Semakin tinggi kecepatan EDM nya maka menandakan semakin besar pula volume yang terbentuk di dalam tubuh Merapi.
Misalnya pada 7 November 2020 lalu, BPPTKG mencatat dari data EDM, deformasi Merapi terpantau dengan laju rata-rata 12 cm/ha.
Namun, Hanik mengingatkan, deformasi Merapi saat ini jauh berbeda dengan erupsi 2010 silam. Deformasi pada erupsi 2010 melaju dengan sangat cepat. Misalnya hari pertama deformasi masih 1 cm namun pada hari ke lima deformasinya langsung naik berkali-kali lipat menjadi 8 cm.
“Untuk Merapi sekarang deformasi tak seperti 2010. Misalnya pada erupsi Juni 2020 lalu, jika minggu ini deformasi hanya 1 cm, beberapa minggu kemudian masih tetap 1 cm,” ujarnya.
Hanya saja, sejak awal November ini deformasi Merapi mulai melaju lumayan kencang namun tidak signifikan. Yakni mencapai 10 cm namun dengan jangka waktunya berhari-hari baru bertambah lagi. Kenaikan deformasi ini yang turut menyebabkan status Merapi dinaikkan dari waspada menjadi siaga.
Tak hanya lewat pemantauan EDM. Untuk menghitung volume kubah lava yang terbentuk, BPPTKG juga memanfaatkan teknologi Differential Global Positioning System (DGPS).
Adapun untuk menghitung kecepatan magma yang mengalir dari Merapi, BPPTKG menilai salah satu faktor penentunya adalah tekanan gas yang ditimbulkan. Tekanan gas yang besar akan mempercepat gerak magma ke permukaan.
Hanik mengatakan jika BPPTKG menyebut adanya potensi erupsi dengan sifat eksplosif atau disertai letusan atau ledakan untuk Merapi kali ini, masyarakat diminta tak langsung membayangkan peristiwa erupsi dahsyat 2010 silam.
Sebab erupsi Merapi tahun 2006, 2018 sampai Juni 2020 pun juga memuat sifat eksplosif meski tak sekuat 2010. Hanik membandingkan jika kekuatan eksplosifitas erupsi Merapi 2010 silam di level 4, maka eksplosifitas erupsi Merapi tahun 2006 hanya tingkat 2 sedangkan tahun 2018- Juni 2020 hanya tingkat 1.
Post a Comment