Ungkap Dampak Era Virtual Pada Seni, ISI Yogya Gelar Seminar Ini
Poster seminar virtual FSMR ISI Yogyakarta bertajuk “Seni dan Media di Masa Pandemi Covid-19” |
WARTAJOGJA.ID: Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta bakal menghelat seminar virtual bertajuk “Seni dan Media di Masa Pandemi Covid-19” pada 26 – 27 Oktober 2020 secara daring.
Seminar itu dilatari untuk menjawab berbagai fenomena perubahan aktivitas seni media di masa pandemi Covid-19 yang kini seluruhnya menggunakan platform virtual atau daring.
Seni menjadi salah satu bidang yang sama terpukulnya dengan industri lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Beragam geliat modifikasi seni di masa pandemi pun gencar dilakukan.
Perpindahan media pertemuan di kegiatan-kegiatan kesenian memang tidak bisa menggantikan interaksi dan pengalaman konvensional.
Panggung, ruang pameran, ruang pemutaran dan pertemuan kini lebur dalam sebuah ruang virtual, menghapus sekat dan jarak, menjadikan seni lebih inklusif.
Beragam platform virtual dan model viewing experience pun dieksplorasi. Konversi pertemuan ke online presence baik para seniman, pekerja seni dan penikmat seni terus dilakukan dalam menjaga ekosistem seni agar terus berjalan.
Namun perubahan aktivitas seni media dari yang semula dilakukan secara langsung menjadi virtual itu bukan berarti tanpa masalah.
“Salah satu masalah dalam seni saat pandemi ini misalnya ada karya seni ikut pameran virtual, lalu karya itu di-copy dan diklaim menjadi milik orang lain,” ujar Dekan Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Irwandi Jumat 23 Oktober 2020.
Tindakan menjiplak atau mengklaim karya seni yang dipamerkan secara virtual ini, ujar Irwandi, urusannya sudah masuk ranah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Padahal ketika berbagai aktivitas pameran seni itu masih dilakukan secara langsung (bukan virtual), persoalan HAKI ini tak terlalu disorot. Karena obyek benda itu tampak ada.
“Kalau pameran seni itu digelar secara langsung, satu-satunya cara jika ingin mencuri karya itu harus mengambil barangnya dan dibawa pergi,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ujar Irwandi, yang menjadi persoalan besar di masa pandemi ini bagaimana bisa tetap menjaga eksistensi seni yang media apresiasinya berubah menjadi virtual itu tetap aman.
Irwandi pun mendesak adanya regulasi-regulasi yang lahir, guna melindungi hak cipta seseorang ketika memanfaatkan ruang virtual di masa pandemi ini. Serta bagaimana peran seharusnya otoritas-otoritas terkait.
Irwandi menambahkan, meskipun segalanya kini berubah metodenya harus dilakukan secara virtual, dalam dunia seni ada beberapa hal yang tak bisa sekedar diapresiasi secara maya.
“Dalam konteks serba virtual ini, infrastruktur kesenian kita sebenarnya sangat rentan. Jika pandemi berkepanjangan, koneksi seni lintas regional dan internasional pun akan terancam,” ujar Irwandi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa seni berada di wilayah imajinasi.
Dalam situasi pandemi, perlu dipertanyakan kembali, bagaimana seni tetap relevan? Bagaimana seni dapat menjadi medan kontestasi di masa pandemi? Bagaimana bentuk yang paling ideal dari seni yang terkonversi? Bagaimana ekosistem seni bertahan? Sejauh mana media digital dan teknologi berperan dalam situasi seperti ini? Siapa saja yang terlibat dalam seni di masa seperti ini? Apakah ada yang harus dieliminasi atau malah diversifikasi para pekerja seni?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang akan dibahas dalam seminar virtual yang diberi tajuk “Seni dan Media di Masa Pandemi Covid-19” pada 26 – 27 Oktober 2020 secara daring.
Ketua Panitia Seminar Virtual itu Ari Prasetyawati, S.H., L.LM mengatakan seminar akademik ini mengundang para akademisi dan praktisi seni baik dari dalam institusi maupun dari luar institusi.
Fakultas Media Rekam sebagai sebuah institusi penyelenggara pendidikan tinggi khususnya dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada umumnya mendukung masa -masa yang disebut sebagai reshapping seni.
Seni di masa pandemi kini hadir dalam bentuk-bentuk baru. Sebut saja saat membicarakan film, apakah film panjang masih relevan?
Jangan-jangan film pendek dengan durasi layer yang singkat lah yang jadi masa depan perkembangan seni dan media di masa pandemi. Inisiatif lain seperti virtual galeri, kerja kolaborasi antara bidang pangan dan kesehatan, hingga viewing experience VR di mana penikmat seni tetap eksis dalam ruang virtual menjadi serba serbi seni dan media di masa pandemi.
Di sini lah seni menemukan celahnya, media digital yang berbasis teknologi merupakan era baru bagi ekosistem seni. Seni pun perlu bertransformasi dalam era media terdisrupsi.
Dalam proses call for abstract yang telah dilakukan pada 1-12 Oktober 2020 telah diterima 25 abstrak dan sebanyak 21 judul makalah akan dipresentasikan. Seminar ini diadakan sebagai respon atas kondisi pandemi yang ditelaah dari sudut pandang seni, media, budaya, dan humaniora. Seminar ini bertujuan sebagai arena dialektika yang mengundang para akademisi, peneliti, seniman, praktisi seni, penggiat seni, dan pemerhati seni untuk bergabung dan mempresentasikan hasil kajian dan buah pikir serta ciptanya.
Adapun cakupan bahasan dalam senimar ini meliputi seni, media, film, televisi, fotografi, animasi, seni media baru, digital teknologi.
Seminar ini akan diselenggarakan selama dua hari pada Senin, 26 Oktober – Selasa, 27 Oktober 2020 pukul 10.00 – 12.00 WIB melalui daring. Adapun detil informasi dapat diakses pada laman https://fsmr.isi.ac.id/seminar-virtual-fsmr/ .
Sebagai Keynote Speakers hadir Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, M.A (Ketua Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Dosen Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya) dan Dr. Irwandi, M.Sn.(Dekan Fakultas Seni Media Rekam, ISI Yogyakarta)
(Cak/Rls)
Post a Comment