News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Aliansi Bela Garuda Gelar Silaturahmi Budaya, Upaya Kikis Diskriminasi

Aliansi Bela Garuda Gelar Silaturahmi Budaya, Upaya Kikis Diskriminasi



Silaturahmi Budaya, Yogya
Rumah Kita

WARTAJOGJA.ID : Mewujudkan perdamaian dalam keberagaman, dan sebagai wadah mempertemukan berbagai suku dan etnis yang ada di Yogya, Aliansi Bela Garuda menggagas kegiatan "Silaturahmi Budaya, Yogya Rumah Kita", di Ponpes Budaya Kali Opak di Srimulyo, Piyungan, Bantul, Kamis (23/7) malam.

Perwakilan Aliansi Bela Garuda Muhammad Shodiq Sudarti menyampaikan, isu rasisme kerap kali muncul di Yogyakarta, terutama isu rasisme kepada masyarakat Papua. Mahasiswa Papua pun beberapa kali turun ke jalan untuk mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap kondisi yang terjadi. 

"Muncul pertanyaan besar, apakah ada problem rasisme di Kota Pelajar ini. Kita tidak boleh diam, melalui beberapa forum diskusi terungkap bahwa rasisme di Yogya tidak bersifat kuktural. Rasisme hadir sebagai warisan dari budaya kolonial yang bersifat struktural," ujar Shodiq.

Untuk mengikis habis rasisme kepada warga Papua, kata Shodiq, diperlukan suatu ruang dialog yang terbuka dan berbaur dengan masyarakat. Ide ini mendapat respon positif dari perwakilan mahasiswa daerah yang ada di Yogya, yakni dari Ciamis, Mandar, Yogya, Jateng, dan Papua.

Silaturahmi Budaya, Yogya 
Rumah Kita

"Akhirnya tercetuslah kegiatan silaturahmi ini untuk menyuarakan perdamaian, keberagamam, keadilan, kesetaraan, dan anti rasisme. Kegiatan ini tidak bisa diikuti terlalu banyak orang karena terkendala protokol kesehatan yang harus dipatuhi akibat pandemi Covid-19," ungkap Shodiq.

Mahasiswa UNY asal Asmat, Papua, Basilius Mindipko menjelaskan, melalui silaturahmi ini harapannya masyarakat bisa saling memahami satu sama lain sehingga bisa mengatasi permasalahan rasisme di Yogya. Kegiatan ini tidak sekedar pertunjukan, tapi ada semangat solidaritas dan kegotongroyongan yang melandasinya. Agar bisa saling mengenal lebih dalam budaya masing-masing.

"Harapannya masyarakat bisa saling menghargai setiap perbedaan, keberagaman haruslah dipandang sebagai keindahan. Dengan interaksi bersama warga, harapannya bisa saling terbuka dan memahami tentang keberagaman budaya di Indonesia. Kita semua satu, kita semua Indonesia. Di sini kita lahir, di sini rumah kita, Yogya rumah kita," tutur Basilus.

Menurut Shodiq, kegiatan ini sebagai gerbang untuk menyuarakan semangat perdamaian, keberagaman, keadilan, dan anti rasisme. Karena diskusi dan permasalahan rasisme tidak bisa selesai dalam satu atau dua forum diskusi.

Rasisme terhadap warga Papua nyata terjadi sehari-hari. "Karena dalam benak masyarakat sudah tertanam stereotip bahwa orang Papua itu susah diatur dan diberi penjelasan, suka bikin onar, pemabuk, dan persepsi buruk lainnya. Konflik rasisme harus dilihat secara obyektif, agar diketahui betul permasalahannya yang paling mendasar. Agar keutuhan NKRI tetap terjaga, karena persatuan tidak mungkin terwujud jika rasialisme masih tumbuh subur di negeri ini," terang Shodiq.

Silaturahmi Budaya, Yogya 
Rumah Kita

Rasisme terhadap masyarakat Papua, lanjut Shodiq, merupakan refleksi dari rasisme struktural yang mengakar dalam sejarah. Sejak masa kolonial Hindia Belanda, orang asli Papua (OAP) tidak memiliki posisi yang setara dengan orang pribumi non-Papua.

Mewujudkan perdamaian dalam keberagaman, dan sebagai wadah mempertemukan berbagai suku dan etnis yang ada di Yogya, Aliansi Bela Garuda menggagas kegiatan "Silaturahmi Budaya, Yogya Rumah Kita", di Ponpes Budaya Kali Opak di Srimulyo, Piyungan, Bantul, Kamis (23/7) malam.

Perwakilan Aliansi Bela Garuda Muhammad Shodiq Sudarti menyampaikan, isu rasisme kerap kali muncul di Yogyakarta, terutama isu rasisme kepada masyarakat Papua. Mahasiswa Papua pun beberapa kali turun ke jalan untuk mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap kondisi yang terjadi. 

"Muncul pertanyaan besar, apakah ada problem rasisme di Kota Pelajar ini. Kita tidak boleh diam, melalui beberapa forum diskusi terungkap bahwa rasisme di Yogya tidak bersifat kuktural. Rasisme hadir sebagai warisan dari budaya kolonial yang bersifat struktural," ujar Shodiq.

Untuk mengikis habis rasisme kepada warga Papua, kata Shodiq, diperlukan suatu ruang dialog yang terbuka dan berbaur dengan masyarakat. Ide ini mendapat respon positif dari perwakilan mahasiswa daerah yang ada di Yogya, yakni dari Ciamis, Mandar, Yogya, Jateng, dan Papua.

"Akhirnya tercetuslah kegiatan silaturahmi ini untuk menyuarakan perdamaian, keberagamam, keadilan, kesetaraan, dan anti rasisme. Kegiatan ini tidak bisa diikuti terlalu banyak orang karena terkendala protokol kesehatan yang harus dipatuhi akibat pandemi Covid-19," ungkap Shodiq.

Mahasiswa UNY asal Asmat, Papua, Basilius Mindipko menjelaskan, melalui silaturahmi ini harapannya masyarakat bisa saling memahami satu sama lain sehingga bisa mengatasi permasalahan rasisme di Yogya. Kegiatan ini tidak sekedar pertunjukan, tapi ada semangat solidaritas dan kegotongroyongan yang melandasinya. Agar bisa saling mengenal lebih dalam budaya masing-masing.

"Harapannya masyarakat bisa saling menghargai setiap perbedaan, keberagaman haruslah dipandang sebagai keindahan. Dengan interaksi bersama warga, harapannya bisa saling terbuka dan memahami tentang keberagaman budaya di Indonesia. Kita semua satu, kita semua Indonesia. Di sini kita lahir, di sini rumah kita, Yogya rumah kita," tutur Basilus.

Menurut Shodiq, kegiatan ini sebagai gerbang untuk menyuarakan semangat perdamaian, keberagaman, keadilan, dan anti rasisme. Karena diskusi dan permasalahan rasisme tidak bisa selesai dalam satu atau dua forum diskusi.

Rasisme terhadap warga Papua nyata terjadi sehari-hari. "Karena dalam benak masyarakat sudah tertanam stereotip bahwa orang Papua itu susah diatur dan diberi penjelasan, suka bikin onar, pemabuk, dan persepsi buruk lainnya. Konflik rasisme harus dilihat secara obyektif, agar diketahui betul permasalahannya yang paling mendasar. Agar keutuhan NKRI tetap terjaga, karena persatuan tidak mungkin terwujud jika rasialisme masih tumbuh subur di negeri ini," terang Shodiq.

Rasisme terhadap masyarakat Papua, lanjut Shodiq, merupakan refleksi dari rasisme struktural yang mengakar dalam sejarah. Sejak masa kolonial Hindia Belanda, orang asli Papua (OAP) tidak memiliki posisi yang setara dengan orang pribumi non-Papua.

(Yan/Ges)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment